SHARE

Anies Baswedan, meruncingkan cita-cita dengan langsung bergerilya ke daerah-daerah. Berkunjung dalam rangka safari politik, menyelaraskan ide, satukan visi dan silaturahmi dengan berbagai element, kelompok-kelompok masyarakat dan para sukarelawan.

CARAPANDANG - oleh Mujamin Jassin (Pemerhati Sosial-Politik)

Mengutip sepenggal cerita, mula-mula sekelompok bangsawan berkumpul di suatu padang rumput hijau di Runnymede, Inggris. Mereka bergerak menuntut keadilan hukum kepada raja yang dipandang masih menerapkan pola kekuasaan konservatif – feodalistik.

Memahami arus perubahan tidak mungkin dibendung, maka raja mengesahkan naskah petisi yang diajukan para pengkritiknya. Peristiwa menunjukkan betapa kekompakan sebuah gerakan rakyat yang merubah haluan ini, dalam sejarah dikenal sebagai Piagam Magna Carta. Raja-raja yang merasa diri memiliki hak mutlak atas kebebasan rakyat kemudian terguncang, dan banyak penganut tradisi feodalisme yang terancam oleh semangat baru Magna Carta.

Jika direnungkan secara mendalam, bahwa kekuatan konsolidasi benar-benar berkontribusi pada substansi sebuah perjuangan, mendapatkan dimensi yang memastikan kemenangan. Konsolidasi dibutuhkan tak hanya agar memperjelas ekspresi politik tidak apologetik. Lebih dari itu, massa yang terkonsolidasi dapat meruntuhkan pandangan-pandangan, upaya pelemahan, depolitisasi (kendati telah dipikirkan secara matang) terhadap suatu niat yang baik misi pergerakan.

Menyadari hal tersebut dalam spektrum intelektualisme pergerakan politik yang relevan agar daya dukungan mencangkup jangkauan luas, dalam konteks pencengkraman politik. Lantas bagaimana Anies Baswedan lakukan proses membangun ‘komunikasi keumatan’ untuk menembus pasar politik, membumikan, melambungkan seruan kesadaran, menyerukan spirit pemenangan yang menumbuhkan benih-benih gelombang gerakan persatuan yang melibatkan keseluruhan komponen hingga ke pelosok-pelosok terluar negeri?

Usai deklarasi atau pernyataan bersama sejak menerima amanat menjadi calon Presiden pilihan Partai NasDem awal Oktober lalu. Anies Baswedan, meruncingkan cita-cita dengan langsung bergerilya ke daerah-daerah. Berkunjung dalam rangka safari politik, menyelaraskan ide, satukan visi dan silaturahmi dengan berbagai element, kelompok-kelompok masyarakat dan para sukarelawan.

Yang paling terasa baru-baru ini, tentu saja selain disambut meriah puluhan ribu masyarakat hadir secara sukarela. Lautan payung warna-warni yang menunjukkan semangat massa yang mengular ditengah hujan. Anies Baswedan telah berlangsung konsolidasi akbar, mulai dari meracik kopi Aceh, nobar piala dunia, Temu ramah kebangsaan, bersilaturahmi dan berinteraksi langsung tokoh lintas agama dan etnis, berdialog dengan keluarga besar persekutuan Gereja-gereja.

Di balai pinggir sawah, berbincang, senda gurau dan mendengarkan langsung berbagai tantangan yang dihadapi petani. Menebar benih ikan nila, sambil kulakan masalah bersama kelompok pembudidaya ikan. Erat rasakan kopi bersama Ondoafi (kepala adat kampung), akrab dengan para anak muda hingga bercengkrama dengan dua legenda hidup sepakbola tanah air, Solossa bersaudara (Ortizan Solossa dan Boaz Solossa). Dan selain yang tertera ini, tentu saja banyak pertemuan-pertemuan lainnya.

Secara gamblang ijtihad yang Anies kerjakan sejauh ini dapat disebut sebagai konsolidasi kultural yang dominan daripada mengandalkan struktural. Pasalnya kepada kantong-kantong kelompok maupun kolektif individual disasar lebih menggunakan senjata spiritual. Dimana ia lebih mengutamakan pendekatan linear yang memiliki keterkaitan unsur hubungan spiritual-nonstruktural dengan dirinya.

Proses fundamental (action social) terpola dengan baik, keutamaan sikap yang murni menyatukan politik orisinil, semangat politik negara yang bersumber pada pijakan nilai-nilai, campur jiwa memelihara kearifan, menempatkan ilmu, mendekati dengan moral iman, bersirkulasi udara budaya, dan bermata nurani.

Yakni strategi keterlibatan struktural-struktural partai, tetapi juga memerlukan lingkup pesantren-pesantren, paguyuban kecil-besar, grup-grup dakwah, organisasi-organisasi masyarakat, kepemudaan dan seterusnya untuk dapat memainkan peranan penting, memasok logistik penyadaran.

Seluruhnya sehingga membuat kedudukan atau posisinya berada satu level di atas buatan politik dan lainnya. Membuat Anies, bukan saja menjadi fenomenal atau difavoritkan, tapi akan berbuah manis memiliki follower organik dalam bursa pemenangan pemilihan Presiden Republik Indonesia pada Pemilu mendatang. Lebih dari itu, konstruksi konsolidasi Anies ini dapat membangun keadaban politik negara dalam hubungannya dengan ketentraman kehidupan publik.

Konsolidasi kultural bukan mengandalkan model mobilisasi yang merata, atau simbolisme politik biasa atau idiom umum yang hidup dalam setiap musim-musim politik lazimnya. Untuk itu, sukar untuk ditiru atau tidak tercampur oleh aksi kebanyakan manusia politik lainnya yang tampil setelah memang mendapatkan fasilitas, modal politik yang gelimang. Konsolidasi politik yang kaku sehingga membentuk ekspresi emoh publik terhadap agenda-show politik.

Untuk itu, konsolidasi Sowan ini harus dianggap sebagai doktrin, atau pegangan prinsip ikhtiar (pergulatan) politik Pilpres baik bagi individu maupun secara institusi yang mau senantiasa ambil bagian turun gunung memberikan dukungan pada Anies Baswedan wujudkan mimpinya.

Selebihnya saya menyarankan perlu mematenkan gerakan konsolidasi melalui lampu hijau pernyataan sikap bersama (deklarasi). Dilandasi spirit tanpa pamrih, deklarasi demi deklarasi sebagai bentuk ‘parade politik rakyat’. Penegasan suatu militansi menggerakkan agenda-agenda strategis dan langkah taktis.

Mempertebal pemahaman dan menjamin kemenangan khususnya datang yang bersumber dari para ulama dan umat yang memilih sikap terbuka dan mengakhiri keterisolasian politik. Sedia menjadi agen-agen, kekuatan pelopor (lokomotif-komunikator) yang akan menggerakkan. Sehingga lahir partisipasi semakin berdaya massif dan kuat.



Tags
SHARE