SHARE

Istimewa

Tanpa ancaman jerat hukum itu saja pun pers sekarang sudah seperti kehabisan nafas menghadapi pemilik modal yang amat dominan mengancam keberlangsungan fungsinya. Tidak ada halangan bagi mereka ( pemilik media) kapan  saja mau memberhentikan pemimpin redaksi atau penangggung jawab redaksi yang tidak menguntungkan korporasinya maupun kolaborasinya dengan pemerintah. 

Bukan cerita isapan jempol, tengah malam boss terganggu, tidak enak hati, dia  bisa memberhentikan penanggung jawab media sebelum ayam berkokok, esok paginya. Dari aspek  ini berbanding  terbalik dengan di masa Orde Baru, yang untuk mengangkat dan memberhentikan pemimpin redaksi bisa menelan waktu bertahun-tahun mengurusnya.  Kini, pemilik  modal menempati urutan pertama sebagai ancaman kemerdekaan pers. Peringkat kedua, ancaman profesi, dari kalangan wartawan sendiri.  Ketiga, ancaman ormas maupun preman yang mulai mengendur.

Saya kira dibandingkan perjuangan melawan penguasa dan preman, Prof Azyumardi akan menghadapi perkara rumit dalam mengatasi ancaman profesi ini. Ancaman itu banyak bersumber  karena kekurangpahaman; karena sikap mental petualang, dan mental mengejar  keuntungan sendiri. Golongan terakhir ini bisa jadi berpengetahuan cukup, mengerti dan memahami peraturan perundang-undangan, namun pengetahuannya  dimanfaatkan untuk mencari celah demi kepentingan dan keuntungan golongannya sendiri. 

Golongan ini  menyebar di
 institusi resmi pers dan media, yang sering lancang  menafsir-nafsir aturan untuk jadi
 "tambangnya.". Yang dalam prakteknya mencatut atasnama rakyat untuk mengebiri pers. Saya mencatat pada tahun 2017 muncul dengan produknya berupa larangan kepada  wartawan meliput aksi 212 serta menyiarkan secara langsung sidang putusan Basuki Tjahaja Purnama di Pengadilan. Padahal, setelah reformasi segala larangan yang membatasi aktifitas publik sah jika diputuskan pengadilan. Saya ingat argumentasi yang digunakan melarang, yang isinya karangan semata mencatut stabilitas. Pertimbangan itu bukan wewenang institusi pers, mau Dewan Pers, KPI apalagi organisasi. Pers. Pertimbangan seperti itu mestinya lahir dari institusi keamanan. Menggunakan alasan stabilitas institusi pers itu malah melecehkan kemampuan profesional aparat keamanan, dan mengintervensi wewenang hakim di pengadilan.

Azyumardi belum seumur jagung menjadi Ketua Dewan Pers. Namun, minggu lalu sudah mengalami sendiri dari dalam institusinya keluar fatwa yang menyerukan kepada wartawan agar hanya menyiarkan berita terkait kasus " Polisi Tembak Polisi" dari sumber resmi, secara eksplisit sumber dari. Fatwa ini jelas dungu, justru karena informasi resmi dari kepolisian itulah yang digugat masyarakat.Ini jelas ngawur dan blunder. Tidak ada pasal dalam UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik yang membenarkan fatwa itu. Malah, UU Pers itu menyediakan ancaman hukuman bagi pihak yang menghalang-halangi pers, tindak penyensoran, apalagi pembreidelan. Beruntung segera diketahui oleh Ketua Dewan Pers yang hari Sabtu membuat joint statement dengan Ketua DK- PWI. Isinya, justru mendorong seluruh wartawan  melakukan investigative reporting  ( liputan mendalam) untuk menyingkap fakta peristiwa dan duduk perkara kasus yang menjadi sorotan masyarakat saat ini.

Halaman :